Sabtu, 11 Juni 2016

Kota Islami, Kok Maksiat?

Kota Islami, Kok Maksiat?

Indeks Kota Islami (IKI) hanya numpang populer dengan istilah Islami. Padahal, variabel yang dipakai bukan variabel Islami
Kota Islami, Kok Maksiat?
konforntasi
Mubes Kepala Suku Adat di Sentani: Jayapura masuk urutan 20 'Kota Islami' veri Maarif Institute

Terkait

Oleh: Herry Mohammad
  
SELASA lalu, di Hotel Alia, Cikini, Jakarta Pusat, Ahmad Imam Mujadid Rais, Direktur Riset Maarif Institute mempublikasikan hasil penelitiannya selama setahun terhadap 29 kota di Indonesia. Hasil penelitiannya itu untuk menilai Indeks Kota Islami (IKI).
Ada tiga variabel yang dipakai memeringkatkan sebuah kota yang Islami. Yakni, Pertama, Kota yang aman; Kedua, Kota yang sejahtera; dan Ketiga, kota yang bahagia. Yang menarik adalah, Yogyakarta, Bandung, dan Denpasar menempati peringkat teratas dengan pengumpulan skor yang sama: 80.64. Sebelum menarik kesimpulan atas hasil penelitian tersebut, ada baiknya kita menanggapi dulu argumen yang dibangun sebagai variabel dari kota Islami.
Pertama, Kota yang aman
Variabel pertama ini merujuk dari Surah Al-Baqarah: 126. Dalam ayat tersebut Nabi Ibrahim berdoa agar negerinya aman (Aminan). Aminan berasal dari kata al-amnu dan al-aman. Al-amnu berarti tentramnya jiwa dan tiadanya ketakutan (thuma’ninatun nafsi wa zawalul khaufi). Sedang al-amanu berarti keadaan aman dan damai yang dialami manusia (al-halah al-lati yakunu ‘alaiha insan minal amni). Dari ayat tersebut juga dijelaskan bagaimana Nabi Ibrahim mencoba memberikan privillege kepada Muslim saja untuk memperoleh rezeki melalui doanya. Namun Allah mengoreksi Ibrahim dan mengatakan bahwa orang yang tidak beriman pun akan diberi rezeki yang sama (poin menjadi indikator bagi kebebasan beragama dan keyakinan). Aman berasal dari akar kata amana yang artinya suatu keadaan yang artinya tenang dan damai. Aman bisa juga berarti penyerahan kepercayaan dari yang dipimpin kepada pemimpin (yang kemudian menjadi indikator kepemimpinan dan perlindungan hukum serta HAM).
Tanggapan
Surah Al-Baqarah ayat 126 itu lengkapnya adalah, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri Mekkah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian’, Dia (Allah) berfirman: Dan kepada orang yang kafir akan Aku beri kesenangan sementara, kemudia akan Aku paksa dia ke dalam azab neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”
Menurut Sayyid Qutbh, dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an, doa nabi Ibrahim tersebut penuh keadaban. “Dia beradab dengan adab yang diajarkan Tuhan kepadanya, maka dipergunakanlah adab itu di dalam memohon dan berdoa kepada-Nya.” Nikmat-nikmat dunia kepada orang-orang kafir bersifat terbatas dan waktunya pun pendek. Wahbah az-Zuhaili, dalam Tafsir Al-Munir, memberi catatan khusus atas ayat ini, “Jadi, orang kafir pun diberi rezeki oleh Allah dan disenangkan dengan rezeki ini dalam tempo yang singkat, yaitu selama ia berada di dunia, kemudian ia digiring paksa ke siksa neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruknya tempat kembali yang menunggu mereka.”
Kedua, Kota yang sejahtera
Variabel kedua adalah sejahtera. Dalam doa Ibrahim di atas disebutkan setelah memohon rasa aman damai, selanjutnya adalah memohon rezeki bagi penduduknya dari buah-buahan. Rezeki dapat dipahami sebagai kesejahteraan. Sejahtera adalah situasi kepastian pada masyarakat atas jaminan rizki (pendidikan, kesehatan, pendapatan dan pekerjaan ) yang banyak (alternatif dan jumlah pekerjaan) dan baik (kualitas dan keadaan di tempat kerja/pendidikan).
Tanggapan
Tentang kesejahteraan ini, ada kesejahteraan keluaga dan ada kesejahteraan untuk sebuah kota atau negeri.
Untuk kesejahteraan keluarga, kita bisa merujuk pada Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 9, “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Sedangkan kesejahteraan untuk kota atau negara, bisa dirujuk pada Al-Qur’an Surah Al-A’raf ayat 96, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, ‎pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan ‎bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa ‎mereka disebabkan perbuatannya.”
Ketiga, Kota yang bahagia
Berikutnya adalah bahagia. Bahagia, sebagaimana dalam al-QurĂ¡n surat Saba’ ayat 15, yaitu bagaimana rakyat negeri Saba yang tinggal di lingkungan yang asri dan makmur bisa bersyukur atas karunia tersebut dengan mengaktualisasikan dirinya. Bahagia adalah suatu perasaan nyaman yang bersifat subyektif (individual) dan dimensi kolektif berupa kemauan untuk berbagi, kesetiakawanan, serta hidup harmoni dengan alam.
Tanggapan
Al-Qur’an surah Saba’ ayat 15 itu mengabarkan tentang bangsa Saba’ yang berdomisili di Selatan Yaman. Ini negeri, awalnya adalah makmur dengan kebun-kebun yang menghasilkan buah untuk kemakmuran warganya. Tapi karena mereka kufur nikmat, dan berpaling dari Allah, maka Allah datangkan banjir badang dan kebun-kebun buah yang ada diganti jadi kebun-kebun yang berbuah pahit, kemiskinan pun melanda warga di wilayah itu. Lengkapnya, lihat Al-Qur’an surah Saba’ ayat 15 – 17.
Coba perhatikan poin pertama sampai ketiga, iman, takwa, dan bersyukur menjadi kata kunci agar kesejahteraan itu bisa langgeng. Sebab, tanpa iman, takwa, dan rasa syukur, keamanan, kesejahteraan, dan kebahagiaan tidak bisa bertahan lama. Allah akan menurunkan azab di dunia, dan di akhirat kelak akan disiksa dalam neraka.
Risma usai memimpin dan menggerebek sejumlah Anak Baru Gede (ABG)  di sebuah lokasi hiburan malam tahun 2012. Ia menduga sejumlah rumah hiburan umum (RHU), mempekerjakan wanita di bawah umur
Risma memimpin razia Anak Baru Gede (ABG) sedang maksiat hotel saaat malam tahun 2012.  Survey 2004, 44 %  ABG Surabaya tak perawan 
Yogyakarta, Bandung, dan Denpasar
Selama tiga tahun, dari Juli 1999 sampai Juli 2002, Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan (LSCK) melakukan penelitian tentang virginitas mahasiswi di Yogyakarta. Sebanyak 1.660  mahasiswi dari 16 perguruan tinggi di Yogyakarta, dijadikan responden. Hasilnya adalah: 97,5 persen dari responden mengaku telah kehilangan virginitasnya.
Di tahun 2004, Synovate Research melakukan survei mengenai perilaku seks remaja di empat kota: Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan. Sebanyak 450 responden, di usia 15 sd 24 tahun. Hasilnya? Sebanyak 44 persen responden mengaku sudah punya pengalaman seks di usia 16 sampai 18 tahun.
Pada 9 Maret 2015, Badan Narkotika Nasional (BNN) merilis temuannya. Dari 10 Provinsi terbesar pemakai narkoba, Yogyakarta menduduki peringkat ke-5, Jawa Barat peringkat ke-6, dan Bali peringkat ke-8.
Riset ‘Kota Islami’ Dinilai Cacat Konsep
Bagaimana dengan Denpasar? Data BPS tahun 2013, dari 846.200 penduduk Denpasar, sebanyak 535.768 orang beragama Hindu, sedangkan yang beragama Islam sebesar 242.893 orang, sisanya beragama Budha, Kristen Protestan, Katholik, dan lain-lain. Di Denpasar binatang babi diternak dan dikonsumsi. Khomer juga beredar secara luas. Apakah ini bisa dikatakan sebagai kota Islami?
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, jelaslah bahwa IKI hanya numpang populer dengan istilah Islami. Padahal, variabel yang dipakai bukan variabel Islami. Jika merujuk pada konsep Islam, maka Rukun Islam (syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji bagi yang mampu) dan Rukun Iman (iman kepada Allah, kepada Malaikat-malaikat, kepada kitab-kitab Allah, kepada Rasul-rasul Allah, kepada Hari Akhir, dan kepada Qada dan Qadar) dijadikan variabelnya. Rukun Islam dan Rukun Iman itu, pada dasarnya bertumpu pada tiga hal: Akidah, syariat, dan akhlak.
Dengan metodologi seperti itu, maka kita akan bisa adil dalam menilai sebuah kota Islami atau tidak. Dengan metodologi yang dipakai oleh maarif Institute, hasilnya jauh dari kebenaran. Dan jadilah kota tersebut Islami tapi di dalamnya dipenuhi kemaksiatan. Wallahu A’lam.*  
Penulis wartawan, pemerhati politik Islam